Topik
Reformasi Birokrasi
Momok Bagi Pejabat ?
INFOKU, BLORA- BUkan rahasia lagi, bila pergantian
para pemimpin akan berdampak pula pada perubahan pemimpin ditiap departemen
atau instansi. Baik ditingkat pusat maupun di tiap kabupaten selalu terjadi
perubahan itu.
Balas jasa para penguasa baru terhadap
seseorang yang dianggap berjasa, baik secara langsung maupun tidak langsung
saat kampanye dulu, tentunya bukan hal yang tabu.
Seperti diketahui pada Agustus lalu di
Blora terjadi perubahan kepemimpinan dari Bupati Yudhi Sancoyo ke Bupati Djoko
Nugroho yang unggul dalam Pilkada. Maka secara langsung Djoko Nugroho harus
segera mungkin merealisasikan misi dan visinya, yang dijanjikan saat kampanye
pada masyarakat Blora.
Untuk itulah Bupati Djoko Nugroho
dibantu Wakil Bupati Abu Nafi tentunya memilih orang-orang yang dianggap dapat
meralisasinya Misi dan Visinya, untuk memimpin masing-masing SKPD.
Perlahan dan pasti Bupati Blora ke 27
ini mulai menata kembali para kepala SKPD, tertutama SKPD yang menjadi ujung
tombak dalam pelaksanaan Misi dan Visinya.
Terbukti awal Oktober lalu Bupati Djoko
Nugroho mulai mengisi Masinis masing-masing SKPD sebagai langkah awalnya dalam
menjalankan pemerintahan. Terlepas pro dan kontra penetapan kepala SKPD kental
nuansa politis, adalah kewenangan mutlak bupati sesuai UU 32 tahun 2004.
Reformasi birokrasi yang telah
dicanangkan Djoko Nugroho, diawali dengan pergantian pejabat eselon II Sebanyak
11 orang.
Menurut Bupati Djoko Nugroho yang
akrab di panggil Kokok, dibeberapa kesempatan, untuk merealisasikan Misi dan
Visinya diawali dari Pimpinan SKPD yang benar-benar mau bekerja keras untuk
mewujudkan masyarakat Blora yang sejahtera.
Dilanjutkan Reformasi birokrasi
tahap dua dengan melantik 127 pejabat eselon III dan eselon IV dilingkungan
Pemkab Blora.
Hampir sebagian besar pejabat yang
dilantik, mulai eselon II sampai eselon IV adalah wajah lama. Beberapa nama
pejabat yang dilantik dikembalikan posisinya semula seperti sedia kala saat
Blora dipimpin Bupati Basuki Widodo (alm).
Akan tetapi para pejabat tersebut
dinaikan eselon dan kewenanganya untuk memimpin SKPD dibawa komando Bupati
Kokok dan Wabup Abu Nafi.
Tahap
reformasi selanjutnya adalah restrukturisasi SKPD yaitu dengan perampingan SOTK.
Dinas yang sebelumnya berjumlah 15, dirampingkan hanya menjadi 12. Lembaga teknis yang
semula 13 menjadi 11.
Belum lagi bidang, bagian, sub-bidang
dan sub-bagian serta seksi-seksi di SKPD hingga tingkat kelurahan yang akan
diciutkan dalam program reformasi organisasi birokrasi yang diterapkan Bupati
Djoko Nugroho.
Rancangan peraturan daerah (Raperda)
tentang organisasi dan tata kerja perangkat daerah telah diajukan ke DPRD oleh
bupati saat rapat paripurna DPRD.
Beberapa sumber di jajaran pemkab
mengemukakan akan banyak pejabat yang tidak mendapatkan jabatan lagi karena
jabatan yang tersedia jumlahnya terbatas setelah restrukturisasi.
Setidaknya
terdapat 206 jabatan eselon II,III, dan IV yang hilang. Namun pada saat
bersamaan hingga awal tahun 2011, sebanyak 124 pejabat akan memasuki masa
pensiun. Berarti masih ada 82 pejabat yang tidak lagi menduduki jabatan. Mereka
pun terancam menjadi staf biasa di berbagai SKPD.
Yantinah salah seorang anggota DPRD
Blora mengungkapkan, banyak dampak yang ditimbulkan dari restrukturisasi
organisasi birokrasi di sejumlah SKPD.
“Pemkab harus menyiapkan
langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi dampak dari restrukturisasi,”
ujarnya.
Yantinah
yang juga istri seorang dokter di Cepu itu mengakui, di satu sisi
restrukturisasi bias jadi akan berdampak pada berkurangnya anggaran belanja
rutin seperti tunjangan pejabat. Namun di sisi lain, Pemkab juga harus
memikirkan atau di kemanankan pegawai yang saat ini menduduki jabatan tertentu
namun akan kehilangan jabatannya saat restrukturisasi diterapkan.
“Persoalan itu menyangkut psikologis
seseorang atau sandaran hidup atau rezeki pegawai. Persoalan seperti itu harus
dipikirkan Pemkab,” katanya.
Sementara Sutrisno anggota DPRD
lainnya menyatakan tidak serta-merta materi reperda yang diajukan Pemkab akan
disetujui seluruhnya oleh DPRD. Sutrisno yang juga ketua Badan Legislasi
(Baleg) DPRD itu menyatakan mendukung restrukturisasi struktur organisasi di
jajaran Pemkab agar anggaran bias lebih banyak dipakai untuk pembangunan.
“Hanya, mana-mana lembaga yang perlu
digabung atau dihapus serta jabatan yang ada, perlu dibahas lagi,” tegasnya. (Agung)
klik gambar==>baca model TABLOID
GAGASAN INFOKU
Sertifikasi
Hanya mengejar Materi
Setelah 65 tahun bangsa Indonesia,
pendidikan di negeri ini masih terpuruk. Mengejar ketertinggalan dalam bidang
pendidikan pemerintah melakukan amendemen UUD 1945. Mengalokasikan 20 persen
anggaran untuk bidang pendidikan yang diprioritaskan untuk pemenuhan sarana dan
prasarana pendidikan serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Langkah tersebut
diambil bukan tanpa alasan. Education Development Index (EDI) Indonesia adalah
0,935 yang berada di bawah Malaysia (0,945) dan Brunei Darussalam (0,965).
Rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat
internasional. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum, 2007-2008,
berada di level 54 dari 131 negara, jauh di bawah peringkat daya saing sesama
negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada
urutan ke-7.
Salah satu penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya
kompetensi dan profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan
guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas, guru-guru yang layak mengajar untuk
tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri
54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri
55,91 %, swasta 58,26 %.
Upaya untuk
mendongkrak kompetensi dan profesionalisme guru pemerintah mencanangkan program
sertifikasi guru. Mekanisme dan alat penilaian dalam sertifikasi diatur dalam
Permendiknas No 18/2007 yaitu dilakukan melalui penilaian portofolio yang
mencakup 10 komponen, yaitu kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan,
pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari
atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi,
keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang pendidikan
dan sosial serta penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Timbulkan kecemburuan
Kebijakan melalui
penilaian portofolio ini menuai pro dan kontra. Banyak pihak yang
mempertanyakan dan menyangsikan. Apakah guru yang dinyatakan lulus sertifikasi
otomatis layak disebut guru profesional?
Pertanyaan ini
mencuat dan menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Sebab tidak sedikit guru
yang dinyatakan profesional, kinerja mereka biasa-biasa saja. Tidak ada
perubahan yang mendasar dalam menjalankan tugas selaku pendidik maupun selaku
pengajar. Perubahan yang mencolok hanya satu, mereka sekarang lebih sejahtera
dan lebih makmur secara materi. Hal inilah yang sering memicu timbulnya
kecemburuan sosial bagi guru yang belum memiliki kesempatan mengikuti
sertifikasi.
Dalam sebuah situs
web yang sempat penulis baca, ada ”guru mencibir guru”, atau ”guru mencibir
kepala sekolah”. Mereka yang mencibir, tentu ada yang berlatar belakang rasa
iri, tetapi tidak sedikit yang objektif. Guru mencibir guru, karena perolehan
sertifikat dan pembaiatan sebagai guru profesional yang diraih seseorang,
sangat kontradiktif dengan keadaan sehari-hari, baik sisi pribadi, sosial,
pedagogis, maupun profesional.
Adapun guru
mencibir kepala sekolah, karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa
kepala sekolahnya tidak mampu mengelola sekolah. Ia juga tidak pernah mau
mengajar, walau ada kelas kosong sekalipun. Sungguh tidak elok, apabila seorang
guru, yang kemudian bergelar guru profesional dengan tunjangan satu kali gaji
pokok, tetapi mengajar pun tidak pernah. Apanya yang profesional?
Ditinjau ulang
Melihat fenomena
tersebut, penulis sangat mendukung rencana Direktur Jenderal Peningkatan Mutu
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemdiknas) Prof Dr Boedowi MSi yang akan meninjau ulang serta menyempurnakan
sertifikasi guru, khususnya menyangkut penilaian portofolio (SOLOPOS, 17/9).
Mengapa demikian?
Bukan rahasia lagi bila penilaian portofolio berbasis pada bukti fisik dan
administratif. Di negeri ini, bukti fisik, seperti sertifikat, piagam dan
sejenisnya sangat mudah dibuat atau dicari-carikan. Potensi kecurangan sangat
besar. Apalagi karakteristik orang Indonesia yang akrab dengan budaya
ewuh-pekewuh menjadikan pencarian lembaran-lembaran berkop tersebut sangat
mudah
Di samping itu, bukti-bukti tertulis yang
terkumpul sangat sulit diverifikasi. Anda bayangkan. Bagaimana cara pembuktian
seorang telah mengikuti dan aktif dalam sebuah organisasi masyarakat, forum
ilmiah? Tentu tidak mudah bukan?
Tidak mengherankan
bila pelaksanaan penilaian portofolio ini, menimbulkan permasalahan pelik.
Peserta sertifikasi berupaya mendapatkan nilai tinggi dengan mengumpulkan
beberapa berkas-berkas tadi. Guru dengan masa kerja lebih 20 tahun dan telah
memiliki ijazah pendidikan S1 ataupun D4, berlomba-lomba mengumpulkan setumpuk
kertas ke Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK). Dengan susah payah,
mereka meninggalkan jam sekolah dan mengurus segala keperluan guna mengikuti
sertifikasi. Ini sungguh ironis.
Sebagian guru
memandang bahwa sertifikasi semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan.
Padahal guru sebenarnya identik dengan mendidik dan mengajar. Seharusnya bukti
guru yang kompeten dan profesional adalah dia mampu merancang serta mengelola
pembelajaran secara efektif dan dapat dijadikan panutan.
Orang Jawa
mengatakan guru akronim dari kata-kata digugu lan ditiru. Semakin baik
perencanaan serta pengelolaan pembelajaran, dapat dipastikan semakin baik pula
kualitas produk-produk pendidikan yang telah dia kelola. Ruh dari proses
pembelajaran tersebut tentunya tidak bisa dilihat bila kita hanya mengandalkan
penilaian portofolio semata.
Sertifikasi dengan
model portofolio menjebak guru pada lingkaran kompetensi administrasi yang
penuh dengan manipulasi. Mereka akan selalu berkutat pada kegiatan-kegiatan
yang sifatnya normatif. Bukan lagi pada pengembangan metode pembelajaran di
kelas. Guru akan terus mengumpulkan portofolio dan bukan berusaha mengembangkan
diri untuk kegiatan pembelajaran yang bermutu.
Guru yang sudah
sertifikasi mendapat tunjangan profesi satu kali gaji, sementara sebagian
lainnya belum. Padahal kewajiban untuk melaksanakan proses belajar mengajar
adalah sama. Kondisi tersebut berdampak pada konflik horizontal antarguru. Jika
memang tujuan dari sertifikasi guru adalah memberikan kesejahteraan bagi guru,
mengapa tidak semua guru mendapat tunjangan yang sama?
Tulisan ini tidak
bermaksud menentang pelaksanaan sertifikasi guru, namun sekadar mengingatkan
bahwa pemberian tunjangan sertifikasi bukan tujuan utama. Tunjangan diberikan
sebagai bentuk penghargaan kepada guru yang betul-betul kompeten dan
profesional. Tunjangan harus diberikan tepat sasaran. Bukankah demikian?
Bagaimana pendapat Anda? (Penulis Drs.
Ec. Agung Budi Rostanto – Pimpred tabloid Infoku)
klik gambar==>baca model TABLOID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar