Jumat, 16 Maret 2012

Tabloid INFOKU edisi Perdana


 
Topik
Reformasi Birokrasi  Momok Bagi Pejabat ?
INFOKU, BLORA- BUkan rahasia lagi, bila pergantian para pemimpin akan berdampak pula pada perubahan pemimpin ditiap departemen atau instansi. Baik ditingkat pusat maupun di tiap kabupaten selalu terjadi perubahan itu.
          Balas jasa para penguasa baru terhadap seseorang yang dianggap berjasa, baik secara langsung maupun tidak langsung saat kampanye dulu, tentunya bukan hal yang tabu.
          Seperti diketahui pada Agustus lalu di Blora terjadi perubahan kepemimpinan dari Bupati Yudhi Sancoyo ke Bupati Djoko Nugroho yang unggul dalam Pilkada. Maka secara langsung Djoko Nugroho harus segera mungkin merealisasikan misi dan visinya, yang dijanjikan saat kampanye pada masyarakat Blora.
          Untuk itulah Bupati Djoko Nugroho dibantu Wakil Bupati Abu Nafi tentunya memilih orang-orang yang dianggap dapat meralisasinya Misi dan Visinya, untuk memimpin masing-masing SKPD.
          Perlahan dan pasti Bupati Blora ke 27 ini mulai menata kembali para kepala SKPD, tertutama SKPD yang menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan Misi dan Visinya.
          Terbukti awal Oktober lalu Bupati Djoko Nugroho mulai mengisi Masinis masing-masing SKPD sebagai langkah awalnya dalam menjalankan pemerintahan. Terlepas pro dan kontra penetapan kepala SKPD kental nuansa politis, adalah kewenangan mutlak bupati sesuai UU 32 tahun 2004.
          Reformasi birokrasi yang telah dicanangkan Djoko Nugroho, diawali dengan pergantian pejabat eselon II Sebanyak 11 orang.
Menurut Bupati Djoko Nugroho yang akrab di panggil Kokok, dibeberapa kesempatan, untuk merealisasikan Misi dan Visinya diawali dari Pimpinan SKPD yang benar-benar mau bekerja keras untuk mewujudkan masyarakat Blora yang sejahtera.
Dilanjutkan Reformasi birokrasi tahap dua dengan melantik 127 pejabat eselon III dan eselon IV dilingkungan Pemkab Blora.
Hampir sebagian besar pejabat yang dilantik, mulai eselon II sampai eselon IV adalah wajah lama. Beberapa nama pejabat yang dilantik dikembalikan posisinya semula seperti sedia kala saat Blora dipimpin Bupati Basuki Widodo (alm).
Akan tetapi para pejabat tersebut dinaikan eselon dan kewenanganya untuk memimpin SKPD dibawa komando Bupati Kokok dan Wabup Abu Nafi.
Tahap reformasi selanjutnya adalah restrukturisasi SKPD yaitu dengan perampingan SOTK. Dinas yang sebelumnya berjumlah 15, dirampingkan hanya menjadi 12. Lembaga teknis yang semula 13 menjadi 11.
          Belum lagi bidang, bagian, sub-bidang dan sub-bagian serta seksi-seksi di SKPD hingga tingkat kelurahan yang akan diciutkan dalam program reformasi organisasi birokrasi yang diterapkan Bupati Djoko Nugroho.
          Rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang organisasi dan tata kerja perangkat daerah telah diajukan ke DPRD oleh bupati saat rapat paripurna DPRD.
          Beberapa sumber di jajaran pemkab mengemukakan akan banyak pejabat yang tidak mendapatkan jabatan lagi karena jabatan yang tersedia jumlahnya terbatas setelah restrukturisasi.
Setidaknya terdapat 206 jabatan eselon II,III, dan IV yang hilang. Namun pada saat bersamaan hingga awal tahun 2011, sebanyak 124 pejabat akan memasuki masa pensiun. Berarti masih ada 82 pejabat yang tidak lagi menduduki jabatan. Mereka pun terancam menjadi staf biasa di berbagai SKPD.
          Yantinah salah seorang anggota DPRD Blora mengungkapkan, banyak dampak yang ditimbulkan dari restrukturisasi organisasi birokrasi di sejumlah SKPD.
          “Pemkab harus menyiapkan langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi dampak dari restrukturisasi,” ujarnya.
Yantinah yang juga istri seorang dokter di Cepu itu mengakui, di satu sisi restrukturisasi bias jadi akan berdampak pada berkurangnya anggaran belanja rutin seperti tunjangan pejabat. Namun di sisi lain, Pemkab juga harus memikirkan atau di kemanankan pegawai yang saat ini menduduki jabatan tertentu namun akan kehilangan jabatannya saat restrukturisasi diterapkan.
          “Persoalan itu menyangkut psikologis seseorang atau sandaran hidup atau rezeki pegawai. Persoalan seperti itu harus dipikirkan Pemkab,” katanya.
          Sementara Sutrisno anggota DPRD lainnya menyatakan tidak serta-merta materi reperda yang diajukan Pemkab akan disetujui seluruhnya oleh DPRD. Sutrisno yang juga ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD itu menyatakan mendukung restrukturisasi struktur organisasi di jajaran Pemkab agar anggaran bias lebih banyak dipakai untuk pembangunan.
          “Hanya, mana-mana lembaga yang perlu digabung atau dihapus serta jabatan yang ada, perlu dibahas lagi,” tegasnya. (Agung)
 klik gambar==>baca model TABLOID

GAGASAN INFOKU
Sertifikasi Hanya mengejar Materi
Setelah 65 tahun bangsa Indonesia, pendidikan di negeri ini masih terpuruk. Mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan pemerintah melakukan amendemen UUD 1945. Mengalokasikan 20 persen anggaran untuk bidang pendidikan yang diprioritaskan untuk pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Langkah tersebut diambil bukan tanpa alasan. Education Development Index (EDI) Indonesia adalah 0,935 yang berada di bawah Malaysia (0,945) dan Brunei Darussalam (0,965).
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara, jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7.
Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya kompetensi dan profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas, guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26 %.
Upaya untuk mendongkrak kompetensi dan profesionalisme guru pemerintah mencanangkan program sertifikasi guru. Mekanisme dan alat penilaian dalam sertifikasi diatur dalam Permendiknas No 18/2007 yaitu dilakukan melalui penilaian portofolio yang mencakup 10 komponen, yaitu kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial serta penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Timbulkan kecemburuan
Kebijakan melalui penilaian portofolio ini menuai pro dan kontra. Banyak pihak yang mempertanyakan dan menyangsikan. Apakah guru yang dinyatakan lulus sertifikasi otomatis layak disebut guru profesional?
Pertanyaan ini mencuat dan menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Sebab tidak sedikit guru yang dinyatakan profesional, kinerja mereka biasa-biasa saja. Tidak ada perubahan yang mendasar dalam menjalankan tugas selaku pendidik maupun selaku pengajar. Perubahan yang mencolok hanya satu, mereka sekarang lebih sejahtera dan lebih makmur secara materi. Hal inilah yang sering memicu timbulnya kecemburuan sosial bagi guru yang belum memiliki kesempatan mengikuti sertifikasi.
Dalam sebuah situs web yang sempat penulis baca, ada ”guru mencibir guru”, atau ”guru mencibir kepala sekolah”. Mereka yang mencibir, tentu ada yang berlatar belakang rasa iri, tetapi tidak sedikit yang objektif. Guru mencibir guru, karena perolehan sertifikat dan pembaiatan sebagai guru profesional yang diraih seseorang, sangat kontradiktif dengan keadaan sehari-hari, baik sisi pribadi, sosial, pedagogis, maupun profesional.
Adapun guru mencibir kepala sekolah, karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kepala sekolahnya tidak mampu mengelola sekolah. Ia juga tidak pernah mau mengajar, walau ada kelas kosong sekalipun. Sungguh tidak elok, apabila seorang guru, yang kemudian bergelar guru profesional dengan tunjangan satu kali gaji pokok, tetapi mengajar pun tidak pernah. Apanya yang profesional?
Ditinjau ulang
Melihat fenomena tersebut, penulis sangat mendukung rencana Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) Prof Dr Boedowi MSi yang akan meninjau ulang serta menyempurnakan sertifikasi guru, khususnya menyangkut penilaian portofolio (SOLOPOS, 17/9).
Mengapa demikian? Bukan rahasia lagi bila penilaian portofolio berbasis pada bukti fisik dan administratif. Di negeri ini, bukti fisik, seperti sertifikat, piagam dan sejenisnya sangat mudah dibuat atau dicari-carikan. Potensi kecurangan sangat besar. Apalagi karakteristik orang Indonesia yang akrab dengan budaya ewuh-pekewuh menjadikan pencarian lembaran-lembaran berkop tersebut sangat mudah
 Di samping itu, bukti-bukti tertulis yang terkumpul sangat sulit diverifikasi. Anda bayangkan. Bagaimana cara pembuktian seorang telah mengikuti dan aktif dalam sebuah organisasi masyarakat, forum ilmiah? Tentu tidak mudah bukan?
Tidak mengherankan bila pelaksanaan penilaian portofolio ini, menimbulkan permasalahan pelik. Peserta sertifikasi berupaya mendapatkan nilai tinggi dengan mengumpulkan beberapa berkas-berkas tadi. Guru dengan masa kerja lebih 20 tahun dan telah memiliki ijazah pendidikan S1 ataupun D4, berlomba-lomba mengumpulkan setumpuk kertas ke Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK). Dengan susah payah, mereka meninggalkan jam sekolah dan mengurus segala keperluan guna mengikuti sertifikasi. Ini sungguh ironis.
Sebagian guru memandang bahwa sertifikasi semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan. Padahal guru sebenarnya identik dengan mendidik dan mengajar. Seharusnya bukti guru yang kompeten dan profesional adalah dia mampu merancang serta mengelola pembelajaran secara efektif dan dapat dijadikan panutan.
Orang Jawa mengatakan guru akronim dari kata-kata digugu lan ditiru. Semakin baik perencanaan serta pengelolaan pembelajaran, dapat dipastikan semakin baik pula kualitas produk-produk pendidikan yang telah dia kelola. Ruh dari proses pembelajaran tersebut tentunya tidak bisa dilihat bila kita hanya mengandalkan penilaian portofolio semata.
Sertifikasi dengan model portofolio menjebak guru pada lingkaran kompetensi administrasi yang penuh dengan manipulasi. Mereka akan selalu berkutat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya normatif. Bukan lagi pada pengembangan metode pembelajaran di kelas. Guru akan terus mengumpulkan portofolio dan bukan berusaha mengembangkan diri untuk kegiatan pembelajaran yang bermutu.
Guru yang sudah sertifikasi mendapat tunjangan profesi satu kali gaji, sementara sebagian lainnya belum. Padahal kewajiban untuk melaksanakan proses belajar mengajar adalah sama. Kondisi tersebut berdampak pada konflik horizontal antarguru. Jika memang tujuan dari sertifikasi guru adalah memberikan kesejahteraan bagi guru, mengapa tidak semua guru mendapat tunjangan yang sama?
Tulisan ini tidak bermaksud menentang pelaksanaan sertifikasi guru, namun sekadar mengingatkan bahwa pemberian tunjangan sertifikasi bukan tujuan utama. Tunjangan diberikan sebagai bentuk penghargaan kepada guru yang betul-betul kompeten dan profesional. Tunjangan harus diberikan tepat sasaran. Bukankah demikian? Bagaimana pendapat Anda? (Penulis Drs. Ec. Agung Budi Rostanto – Pimpred tabloid Infoku)
klik gambar==>baca model TABLOID

Tidak ada komentar:

Posting Komentar