Minggu, 18 Maret 2012

Day of Reflection Blora

The philosophy Gembong Amijoyo Barongan and Regent Djoko Nugroho
It is said that an age before the district Blora stand, all the territory covered by forests.
    At that time the area is very dense forest all so very rare human being through and across the region.
    It is also claimed by anyone in the middle of this forest, will certainly menemuhi various obstacles. Both obstacles and distractions like the magical creatures or the other.
    There was a man who guarded the teak forests (Alas Wengker-Java language) is the largest in the world, who have extraordinary supernatural powers.
     Perseverance in meditation and closer to the Creator, made him a powerful person dijamanya. People were calling it an age as Gembong Amijoyo.
    In the jungle is their meditation he receives magical voice, which in essence that this forest (Blora yore-red) is a wealthy area. And he (Gembong Amijoyo-red) by the magical voice was ordered to guard the forest and its contents.
     After meditating Gembong Amijoyo no matter who has supernatural powers that can transform itself into a giant tiger (Singo Barong / Barongan-ed) it, to keep its promise to maintain the forest and its contents from any interference.
     It is also claimed that anyone would pass or take advantage of these forests may have to ask him. It is said that there is folklore is still growing in Blora, there is a herd of robbers are destroying the forest. They cut down forests illegally. for other dikerajaan sale.
      Because the area was in disrepair, the Gembong Amijoyo angry and took their fight. Those hundreds of people present, eventually the legs below the knees Gembong Amijoyo.
      Either have a few thousand people who have experienced such events, so that every man who would destroy the forest and its content, is bound to be afraid when they hear the name of the Gembong who have this incredible miracle.
      In that story as well since the Gembong Amijoyo maintained, people can feel the forest sidelines and enjoy the forest. So at that time was prosperous society virtually on the size dijamannya.
      Now this era of government regents Blora 27 to this (Djoko Nugroho-ed) it was time to maintain the natural wealth for the welfare of his people.
     Steps taken to support Blora district chairman of the parliament demanding higher for the oil to the center, is one more step forward. Step that virtually force the Gembong Amijoyo Barongan modern era. Which is to preserve the earth Blora, to the welfare of its people.
      Not only as a spectator only, while the contested crops Blora those centers. While we are living in Blora only be assigned to the residue.
Blora original author and has led three different regent for a journalist in Blora, well aware of the duties Regent Blora to 27 (Djoko Nigroho) This is the toughest.
      Free education to realize the high school level and Achieve Free service all types of health center services and Class III in the BRSD are two of the 12 Mission and Vision to be achieved within three years since he led.
      For that one solution is to increase revenue, ie, the demand for higher oil yields. Long live the Blora district to 261 and survivors served Mr KOKOK (calls Blora Regent Djoko Nugroho). Blora welfare of the people there are in your hands. (Authors: Drs Ec. Agung Budi Rustanto, Chief editor of tabloid INFOKU)

Click Picture ==> Being Original Newspapers

Sabtu, 17 Maret 2012

INFOKU edisi 2

Topik utama
APBD 2011 Terancam Molor
Dalam bulan-bulan ini, tentunya DPRD akan bekerja keras mulai pembahasan KUA dan PPAS yang telah diajukan Eksekutif minggu pertama bulan Juli 2010 lalu, sebagai rancangan untuk menetapkan APBD 2011 nantinya.
Fenomena ini sebenarnya bukan masalah baru. Tapi masalah klasik yang dari tahun ke tahun seringkali berulang. Karena sebagai suatu masalah dan berpotensi merugikan masyarakat, maka seharusnya menjadi perhatian bersama, terutama bagi Pemda.
Sebagaimana diketahui, beberapa permasalahan yang mengiringi proses penyusunan APBD itu adalah : pertama, waktu penyusunan yang molor. Setiap tahun dijumpai daerah yang lamban dalam menyusun anggaran keuangan pemerintahannya.
Sebagai contoh, rancangan KUA dan PPAS melebihi waktu dari jadwal yang seharusnya disampaikan kepala daerah kepada DPRD yakni pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan.
Demikian pula, draf RAPBD yang semestinya sudah harus diserahkan ke DPRD pada pekan pertama Oktober untuk dibahas, kenyataannya biasa molor yang akhirnya penetapannya juga molor.
Menurut kepala Dinas Pendapatan Pengeloaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Komang G Irawadi untuk KUA dan PPAS yang merupakan awal rancangan APBD 2011 telah diserahkan ke dewan minggu pertama bulan Juli 2010 lalu. “Rancangan APBD 2011 diawali dengan KUA dan PPAS yang telah diserahkan ke DPRD minggu pertama bulan Juli lalu,” katanya.
Namun sampai saat berita ini ditulis Rabu (8/12) pembahasan KUA atau PPAS oleh DPRD belum juga dilaksanakan. Keadaan ini dapat berdampak molornya APBD bila diteruskan berlanjut.
Hal itu diakui beberapa anggota dewan saat di konfirmasi INFOKU. Dwi Astutik ketua fraksi PDIP membenarkan sampai saat ini belum adanya pembahasan rancangan APBD 2011 ini. “Belum dibahas, nanti setelah selesai penetapan 6 perda inisiatif,” katanya.
Senada juga dikatakan Suningsih dari fraksi Golkar, yang dengan tegas menjawab akan dibahas minggu depan. “Agenda pembahasan RAPBD minggu depan,” tegasnya.
Ditempat terpisah Ketua forum transparansi Blora Amin Farid menceritakan bahwa pada tahun lalu, sejumlah kabupaten/kota di Jateng diperingatkan Gubernur karena terlambat menyerahkan RAPBD 2009 ke Pemprov untuk dievaluasi. Termasuk didalamnya kab Blora.
“Keterlambatan penyusunan APBD jelas merugikan masyarakat. Masyarakat yang semestinya sudah menerima anggaran pembangunan atau pelayanan publik terpaksa harus tertunda menunggu selesainya penetapan APBD,” jelas Amin.
Selain itu, Dana Alokasi Umum (DAU) daerah yang terlambat menetapkan APBD juga akan dipotong 25% oleh pemerintah pusat.
“Dari sudut pandang perencanaan, keterlambatan penyusunan APBD merupakan sesuatu yang kurang masuk akal. Logikanya, bagaimana mungkin pemerintahan bisa berjalan tanpa ada acuan APBD,” tegasnya.
Amin juga menambahkan APBD yang seharusnya sudah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan atau paling lambat tanggal 31 Desember, kenyataannya tak sedikit yang molor hingga berbulan-bulan.
“Hendaknya penetapan APBD tahun 2009  sebagai pengalaman bagi pemerintahan Bupati Djoko Nugroho yang didampingi wakil bupati Abu Nafi,” harap Amin Faried.(Agung)
 klik gambar==>baca model TABLOID

Firman Subagyo Anggota Komisi III DPR RI
Lepas Baju Partai, Bekerja Untuk Rakyat
INFOKU, REMBANG- Cukup sederhana apa yang diungkapkan Anggota komisi 3 DPR Pusat Firmam Subagyo, terkait belum dibahasnya RAPBD Blora 20111, saat ditemui di Rembang akhir bulan lalu.
Dia mengatakan bahwa APBD adalah kebijaksanaan anggaran pemerintahan yang sebagian besar diperuntukan untuk kesehjahteraan rakyat.
“Namanya saja wakil rakyat, harusnya mereka bekerja untuk kepentingan rakyat. Kerbijaksanaan yang berhubungan langsung dengan kebutuhan rakyat diutamakan terlebih dahulu demi kesejahteraan masyarakatnya,” kata Firman.
Terkait adanya kepentingan politik antara eksekutif dan legislative dalam penyusunan RAPBD hendaknya diselesaikan secara musyawarah.       
 “Apapun permasalahan semuanya dapat diselesaikan dengan duduk satu meja. Lepas baju partai, karena mereka sudah wakil rakyat. Bekerja untuk kepentingan dan demi kesejahteraan mayarakatnya,” jelas Firman.
Disisi lain Firman menggarisbawahi kesepahaman antara eksekutif dan legislatif sangat penting dalam menjaga kondusifnya sebuah pemerintahan.
‘Kebijaksanaan Pemerintah Daerah bisa jalan baik, bila semua unsur muspida saling bekerjasama,” tandasnya.
Firman Subagya juga berharap kebijaksanaan Pemkab Blora hendaknya mengutamakan program pembangunan ekonomi kerakyatan, yang bertumpu pada kesejahteraan masyarakat.
“Bila rancangan program pemkab dalam membangun perekonomian rakyatnya berhasil, niscaya dapat menghasilkan rangsangan yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi di Blora,” tambah Firman. (Agung)

 
Haryono SD mantan Wakil ketua DPRD Blora Periode 1999-2004
Himbau ditetrapkan awal tahun 2010
INFOKU, BLORA-  Mantan wakil ketua DPRD Blora Haryono SD angkat bicara tentang  pentingnya APBD untuk sebuah pemerintahan. Untuk itu dirinya menghimbau baik eksekutif maupun legislatif agar sesegera mungkin menetapkan APBD 2011 diawal tahun mendatang.
Meskipun penyusunan APBD rentan dengan berbagai kepentingan politik, namun aturan-aturan formal tetap harus dijadikan landasan, terutama prinsip dan kaidah normatifnya.
Jika hal ini sungguh-sungguh dipedomani oleh eksekutif dan legislatif, niscaya APBD menjadi “alat intervensi” negara dalam mensejahterakan masyarakat, dan bukan justru menjadi sumber masalah.
“Termasuk didalamnya gaji PNS juga termuat di APBD, yang hitunganya hampir separo dari anggaran di APBD itu sendiri. Namun keistemewaan gaji PNS adalah wajib dibayarkan disetiap bulannya, walau APBD belum ditetapkan,” kata Haryono yang telah dinyatakan tidak terbukti bersalah oleh MA pada dugaan korupsi APBD 2003 ini.
Disamping alokasi itu, dituntut juga 20 persen untuk alokasi anggaran pendidikan. Belum lagi berapa persen untuk biaya administrasi pemerintahan misalnya pembelian alat tulis Kantor.
“Sehingga biaya yang dialokasikan untuk rakyat seperti pembangunan gedung sekolah, jalan, saluran irigasi dan lainlain, dalam kisaran angka 20 persenan,” jelas Haryono.(Agung)

 GAGASAN REDAKSI
Refleksi Hari Jadi Kabupaten Blora
Filosofi Gembong Amijoyo Sang Barongan dan Bupati Djoko Nugroho
Konon dijaman dahulu sebelum kabupaten Blora berdiri, wilayahnya semua tertutup oleh hutan.
          Saat itu hutan wilayah tersebut sangat lebat sekali sehingga sangat jarang manusia lewat dan melintasi daerah itu.
          Dikisahkan pula siapapun yang lewat ditengah hutan ini, dipastikan akan menemuhi berbagai halangan. Baik halangan dan gangguan seperti makhuk gaib ataupun yang lainnya.
          Tersebut ada seorang manusia yang menjaga hutan jati (Alas wengker- bahasa jawa)terbesar di Dunia ini, yang mempunyai kesaktian luar biasa.
Ketekunannya dalam bersemedi dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta, membuat dirinya menjadi orang sakti dijamanya. Orang-orang dijaman itu menyebutnya dengan sebutan Gembong Amijoyo.
          Dalam semedinya dihutan tersebut Dia menerima suara gaib, yang intinya bahwa hutan ini (BLORA dahulu kala-red) adalah daerah yang kaya raya. Dan dirinya (Gembong Amijoyo-red) oleh suara gaib tersebut diperintahkan untuk menjaga hutan beserta isinya.
          Usai bersemedi Gembong Amijoyo-pun yang mempunyai kesaktian yang dapat merubah dirinya menjadi harimau raksasa (Singo Barong/ Barongan-red) ini, menepati janjinya untuk menjaga hutan beserta isinya dari gangguan siapapun.
          Dikisahkan pula siapapun yang akan melintas atau memanfaatkan hutan tersebut harus meminta ijin pada dirinya. Konon ada cerita rakyat sampai saat ini masih berkembang di Blora, ada sekawanan perampok yang merusak hutan. Mereka menebangi hutan secara liar. untuk dijual dikerajaan lain.
Karena merasa daerahnya di rusak, Sang Gembong Amijoyo marah dan mengajak tarung mereka. Mereka yang berjumlah ratusan orang ini, akhirnya bertekuk lutut dibawah kaki Sang Gembong Amijoyo.
Entah sudah beberapa ribu orang yang mengalami kejadian seperti itu, sehingga setiap manusia yang akan merusak hutan dan isinya ini, pasti akan takut bila mendengar nama Sang Gembong yang mempunyai kesaktian luar biasa ini.
Dalam cerita itu juga sejak dijaga Sang Gembong Amijoyo ini, masyarakat dipinggiran hutan dapat merasakan dan menikmati hasil hutan. Sehingga kala itu boleh dikata masyarakat sudah sejahtera pada ukuran dijamannya.
Sekarang ini diera pemerintahan bupati Blora ke 27 ini (Djoko Nugroho-red) sudah saatnya bisa menjaga kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyatnya.
Langkah yang diambil bupati Blora dengan dukungan ketua DPRD menuntut lebih tinggi dari bagi hasil minyak bumi kepada pusat, merupakan satu langkah yang lebih maju. Langkah yang boleh dikata gaya Gembong Amijoyo sang barongan era modern. Yang mana untuk mempertahankan hasil bumi Blora, guna mensejahterakan rakyatnya. 
Bukan hanya sebagai penonton saja, saat hasil bumi Blora yang diperebutkan orang-orang pusat. Sedangkan kita yang hidup di Blora hanya kebagian residunya saja.
Penulis yang asli Blora dan telah dipimpin tiga Bupati berbeda selama menjadi wartawan di Blora, menyadari betul tugas yang diemban Bupati Blora ke 27 (Djoko Nigroho) ini adalah yang terberat.
          Mewujudkan Pendidikan gratis sampai tingkat SLTA dan Mewujudkan pelayanan Gratis semua jenis pelayanan Puskesmas dan Kelas III di BRSD adalah dua dari 12 Misi dan Visi yang harus dicapainya dalam 3 tahun pemerintahanya.
          Untuk itulah salah satu solusi adalah meningkatkan PAD, yakni dengan menuntut bagi hasil minyak yang lebih tinggi. Dirgahayu kabupaten Blora ke 261 dan selamat bertugas Pak Kokok (panggilan akrab Bupati Blora Djoko Nugroho). Kesejahteraan rakyat Blora ada ditanganmu. (Penulis : Drs Ec. Agung Budi Rustanto, Pimpinan redaksi tabloid INFOKU) 
 klik gambar==>baca model TABLOID

Jumat, 16 Maret 2012

INFOKU edisi 1 - edisi 27



Tabloid INFOKU edisi Perdana


 
Topik
Reformasi Birokrasi  Momok Bagi Pejabat ?
INFOKU, BLORA- BUkan rahasia lagi, bila pergantian para pemimpin akan berdampak pula pada perubahan pemimpin ditiap departemen atau instansi. Baik ditingkat pusat maupun di tiap kabupaten selalu terjadi perubahan itu.
          Balas jasa para penguasa baru terhadap seseorang yang dianggap berjasa, baik secara langsung maupun tidak langsung saat kampanye dulu, tentunya bukan hal yang tabu.
          Seperti diketahui pada Agustus lalu di Blora terjadi perubahan kepemimpinan dari Bupati Yudhi Sancoyo ke Bupati Djoko Nugroho yang unggul dalam Pilkada. Maka secara langsung Djoko Nugroho harus segera mungkin merealisasikan misi dan visinya, yang dijanjikan saat kampanye pada masyarakat Blora.
          Untuk itulah Bupati Djoko Nugroho dibantu Wakil Bupati Abu Nafi tentunya memilih orang-orang yang dianggap dapat meralisasinya Misi dan Visinya, untuk memimpin masing-masing SKPD.
          Perlahan dan pasti Bupati Blora ke 27 ini mulai menata kembali para kepala SKPD, tertutama SKPD yang menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan Misi dan Visinya.
          Terbukti awal Oktober lalu Bupati Djoko Nugroho mulai mengisi Masinis masing-masing SKPD sebagai langkah awalnya dalam menjalankan pemerintahan. Terlepas pro dan kontra penetapan kepala SKPD kental nuansa politis, adalah kewenangan mutlak bupati sesuai UU 32 tahun 2004.
          Reformasi birokrasi yang telah dicanangkan Djoko Nugroho, diawali dengan pergantian pejabat eselon II Sebanyak 11 orang.
Menurut Bupati Djoko Nugroho yang akrab di panggil Kokok, dibeberapa kesempatan, untuk merealisasikan Misi dan Visinya diawali dari Pimpinan SKPD yang benar-benar mau bekerja keras untuk mewujudkan masyarakat Blora yang sejahtera.
Dilanjutkan Reformasi birokrasi tahap dua dengan melantik 127 pejabat eselon III dan eselon IV dilingkungan Pemkab Blora.
Hampir sebagian besar pejabat yang dilantik, mulai eselon II sampai eselon IV adalah wajah lama. Beberapa nama pejabat yang dilantik dikembalikan posisinya semula seperti sedia kala saat Blora dipimpin Bupati Basuki Widodo (alm).
Akan tetapi para pejabat tersebut dinaikan eselon dan kewenanganya untuk memimpin SKPD dibawa komando Bupati Kokok dan Wabup Abu Nafi.
Tahap reformasi selanjutnya adalah restrukturisasi SKPD yaitu dengan perampingan SOTK. Dinas yang sebelumnya berjumlah 15, dirampingkan hanya menjadi 12. Lembaga teknis yang semula 13 menjadi 11.
          Belum lagi bidang, bagian, sub-bidang dan sub-bagian serta seksi-seksi di SKPD hingga tingkat kelurahan yang akan diciutkan dalam program reformasi organisasi birokrasi yang diterapkan Bupati Djoko Nugroho.
          Rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang organisasi dan tata kerja perangkat daerah telah diajukan ke DPRD oleh bupati saat rapat paripurna DPRD.
          Beberapa sumber di jajaran pemkab mengemukakan akan banyak pejabat yang tidak mendapatkan jabatan lagi karena jabatan yang tersedia jumlahnya terbatas setelah restrukturisasi.
Setidaknya terdapat 206 jabatan eselon II,III, dan IV yang hilang. Namun pada saat bersamaan hingga awal tahun 2011, sebanyak 124 pejabat akan memasuki masa pensiun. Berarti masih ada 82 pejabat yang tidak lagi menduduki jabatan. Mereka pun terancam menjadi staf biasa di berbagai SKPD.
          Yantinah salah seorang anggota DPRD Blora mengungkapkan, banyak dampak yang ditimbulkan dari restrukturisasi organisasi birokrasi di sejumlah SKPD.
          “Pemkab harus menyiapkan langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi dampak dari restrukturisasi,” ujarnya.
Yantinah yang juga istri seorang dokter di Cepu itu mengakui, di satu sisi restrukturisasi bias jadi akan berdampak pada berkurangnya anggaran belanja rutin seperti tunjangan pejabat. Namun di sisi lain, Pemkab juga harus memikirkan atau di kemanankan pegawai yang saat ini menduduki jabatan tertentu namun akan kehilangan jabatannya saat restrukturisasi diterapkan.
          “Persoalan itu menyangkut psikologis seseorang atau sandaran hidup atau rezeki pegawai. Persoalan seperti itu harus dipikirkan Pemkab,” katanya.
          Sementara Sutrisno anggota DPRD lainnya menyatakan tidak serta-merta materi reperda yang diajukan Pemkab akan disetujui seluruhnya oleh DPRD. Sutrisno yang juga ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD itu menyatakan mendukung restrukturisasi struktur organisasi di jajaran Pemkab agar anggaran bias lebih banyak dipakai untuk pembangunan.
          “Hanya, mana-mana lembaga yang perlu digabung atau dihapus serta jabatan yang ada, perlu dibahas lagi,” tegasnya. (Agung)
 klik gambar==>baca model TABLOID

GAGASAN INFOKU
Sertifikasi Hanya mengejar Materi
Setelah 65 tahun bangsa Indonesia, pendidikan di negeri ini masih terpuruk. Mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan pemerintah melakukan amendemen UUD 1945. Mengalokasikan 20 persen anggaran untuk bidang pendidikan yang diprioritaskan untuk pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Langkah tersebut diambil bukan tanpa alasan. Education Development Index (EDI) Indonesia adalah 0,935 yang berada di bawah Malaysia (0,945) dan Brunei Darussalam (0,965).
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara, jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7.
Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya kompetensi dan profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas, guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26 %.
Upaya untuk mendongkrak kompetensi dan profesionalisme guru pemerintah mencanangkan program sertifikasi guru. Mekanisme dan alat penilaian dalam sertifikasi diatur dalam Permendiknas No 18/2007 yaitu dilakukan melalui penilaian portofolio yang mencakup 10 komponen, yaitu kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial serta penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Timbulkan kecemburuan
Kebijakan melalui penilaian portofolio ini menuai pro dan kontra. Banyak pihak yang mempertanyakan dan menyangsikan. Apakah guru yang dinyatakan lulus sertifikasi otomatis layak disebut guru profesional?
Pertanyaan ini mencuat dan menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Sebab tidak sedikit guru yang dinyatakan profesional, kinerja mereka biasa-biasa saja. Tidak ada perubahan yang mendasar dalam menjalankan tugas selaku pendidik maupun selaku pengajar. Perubahan yang mencolok hanya satu, mereka sekarang lebih sejahtera dan lebih makmur secara materi. Hal inilah yang sering memicu timbulnya kecemburuan sosial bagi guru yang belum memiliki kesempatan mengikuti sertifikasi.
Dalam sebuah situs web yang sempat penulis baca, ada ”guru mencibir guru”, atau ”guru mencibir kepala sekolah”. Mereka yang mencibir, tentu ada yang berlatar belakang rasa iri, tetapi tidak sedikit yang objektif. Guru mencibir guru, karena perolehan sertifikat dan pembaiatan sebagai guru profesional yang diraih seseorang, sangat kontradiktif dengan keadaan sehari-hari, baik sisi pribadi, sosial, pedagogis, maupun profesional.
Adapun guru mencibir kepala sekolah, karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kepala sekolahnya tidak mampu mengelola sekolah. Ia juga tidak pernah mau mengajar, walau ada kelas kosong sekalipun. Sungguh tidak elok, apabila seorang guru, yang kemudian bergelar guru profesional dengan tunjangan satu kali gaji pokok, tetapi mengajar pun tidak pernah. Apanya yang profesional?
Ditinjau ulang
Melihat fenomena tersebut, penulis sangat mendukung rencana Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) Prof Dr Boedowi MSi yang akan meninjau ulang serta menyempurnakan sertifikasi guru, khususnya menyangkut penilaian portofolio (SOLOPOS, 17/9).
Mengapa demikian? Bukan rahasia lagi bila penilaian portofolio berbasis pada bukti fisik dan administratif. Di negeri ini, bukti fisik, seperti sertifikat, piagam dan sejenisnya sangat mudah dibuat atau dicari-carikan. Potensi kecurangan sangat besar. Apalagi karakteristik orang Indonesia yang akrab dengan budaya ewuh-pekewuh menjadikan pencarian lembaran-lembaran berkop tersebut sangat mudah
 Di samping itu, bukti-bukti tertulis yang terkumpul sangat sulit diverifikasi. Anda bayangkan. Bagaimana cara pembuktian seorang telah mengikuti dan aktif dalam sebuah organisasi masyarakat, forum ilmiah? Tentu tidak mudah bukan?
Tidak mengherankan bila pelaksanaan penilaian portofolio ini, menimbulkan permasalahan pelik. Peserta sertifikasi berupaya mendapatkan nilai tinggi dengan mengumpulkan beberapa berkas-berkas tadi. Guru dengan masa kerja lebih 20 tahun dan telah memiliki ijazah pendidikan S1 ataupun D4, berlomba-lomba mengumpulkan setumpuk kertas ke Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK). Dengan susah payah, mereka meninggalkan jam sekolah dan mengurus segala keperluan guna mengikuti sertifikasi. Ini sungguh ironis.
Sebagian guru memandang bahwa sertifikasi semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan. Padahal guru sebenarnya identik dengan mendidik dan mengajar. Seharusnya bukti guru yang kompeten dan profesional adalah dia mampu merancang serta mengelola pembelajaran secara efektif dan dapat dijadikan panutan.
Orang Jawa mengatakan guru akronim dari kata-kata digugu lan ditiru. Semakin baik perencanaan serta pengelolaan pembelajaran, dapat dipastikan semakin baik pula kualitas produk-produk pendidikan yang telah dia kelola. Ruh dari proses pembelajaran tersebut tentunya tidak bisa dilihat bila kita hanya mengandalkan penilaian portofolio semata.
Sertifikasi dengan model portofolio menjebak guru pada lingkaran kompetensi administrasi yang penuh dengan manipulasi. Mereka akan selalu berkutat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya normatif. Bukan lagi pada pengembangan metode pembelajaran di kelas. Guru akan terus mengumpulkan portofolio dan bukan berusaha mengembangkan diri untuk kegiatan pembelajaran yang bermutu.
Guru yang sudah sertifikasi mendapat tunjangan profesi satu kali gaji, sementara sebagian lainnya belum. Padahal kewajiban untuk melaksanakan proses belajar mengajar adalah sama. Kondisi tersebut berdampak pada konflik horizontal antarguru. Jika memang tujuan dari sertifikasi guru adalah memberikan kesejahteraan bagi guru, mengapa tidak semua guru mendapat tunjangan yang sama?
Tulisan ini tidak bermaksud menentang pelaksanaan sertifikasi guru, namun sekadar mengingatkan bahwa pemberian tunjangan sertifikasi bukan tujuan utama. Tunjangan diberikan sebagai bentuk penghargaan kepada guru yang betul-betul kompeten dan profesional. Tunjangan harus diberikan tepat sasaran. Bukankah demikian? Bagaimana pendapat Anda? (Penulis Drs. Ec. Agung Budi Rostanto – Pimpred tabloid Infoku)
klik gambar==>baca model TABLOID